Wanita itu datang mengunjungi Abu Hanifah. Dia ingin menjual kain. Seperti dicatat dalam sejarah Abu Hanifah adalah seorang ilmuwan dari generasi pahlawan yang hampir tidak dapat membedakan apakah dia seorang ilmuwan bisnis atau seorang pengusaha yang adalah seorang ilmuwan.
Berapa banyak kamu menjual kain ini ditanyakan oleh Abu Hanifah. Seratus dirham menjawab wanita itu. Ternyata kain yang dibawa wanita itu berkualitas sangat tinggi dan mahal. Namun wanita itu tidak tahu biaya sebenarnya dari kain itu. Tiba-tiba dia mengambil kain itu. Lupa.
Ketika pedagang Perempuan itu datang menemui Abu Hanifah. Ia ingin menjual kainnya. Sebagaimana dicatat sejarah,
“Berapa kamu jual kain ini?” tanya Abu Hanifah. “Seratus dirham!” jawab perempuan itu. Ternyata kain yang dibawa perempuan itu sangat bagus, bermutu, dan mahal. Namun perempuan tersebut tidak tahu harga kain itu sebenarnya. Entah dari mana dulunya ia memperoleh kain itu. Ia lupa.
Adapun Abu Hanifah, seorang saudagar yang mempunyai pengalaman dan pengetahuan barang dan pasar, bisa paham quality barang. Tetapi pengetahuan dan pengalaman itu tudak membuatnya berlaku curang yang memberikan keutungan. Setelah itu pembicaraan pun berlanjut.
“Harga kainmu ini jauh lebih mahal daripada seratus dirham. Coba kamu tawarkan dengan harga yang lebih tinggi,” ujar Abu Hanifah. “Bagaimana kalau dua ratus dirham?” tanya perempuan itu. “Kainmu masih lebih bagus daripada dua ratus dirham!” sahut Abu Hanifah. “Tiga ratus dirham!” “Kainmu masih lebih mahal dari harga itu!”. “Kalau begitu, belilah dengan harga empat ratus dirham.” “Kainmu sebenarnya masih lebih mahal dari empat ratus dirham, tapi aku akan membelinya dengan harga itu!” kata Abu Hanifah. Transaksi pun berlangsung. Keduanya pun sepakat dengan harga itu.
Sekarang dialog ini tampaknya mustahil di dunia nyata. Mungkin kita baru saja memasuki dunia mendongeng. Sekarang tampaknya tidak mungkin bagi pedagang untuk menawarkan harga barang yang melebihi harga yang diinginkan oleh penjual. Sekarang tidak mungkin menemukan pedagang yang meminta untuk menaikkan harga pembelian. Namun tidak demikian halnya dengan kisah wanita dan Abu Hanifah di atas. Kisah yang diceritakan Al-Maqdisi di sana benar-benar terjadi.
Selain jiwa suci dan kejujuran, banyak petikan hikmah yang bisa kita tuai dari sosok Abu Hanifah. Tokoh tabiin yang hanya sempat bertemu dengan tujuh sahabat Nabi ini merupakan ulama peletak dasar mazhab Hanafi. Selain dikenal sebagai ulama, ia juga adalah seorang saudagar sukses.
tiba yang menguasai dunia pasar begitu banyak ia segera belajar tentang kualitas kain. Namun hal ini tidak menyebabkan para imam memiliki niat buruk untuk merebut kesempatan untuk merebut apalagi menipu. Jadi dialog berlanjut.
Biaya zat ini untuk kamu jauh lebih mahal daripada seratus dirham. Cobalah untuk menawarkannya dengan harga lebih tinggi kata Abu Hanifah. Dia bertanya kepada wanita itu sekitar dua ratus dirham. Kainnya masih lebih baik dari dua ratus dirham kata Abu Hanifa. Tiga ratus dirham Kainmu masih lebih mahal dari harga ini. Dalam hal ini belilah dengan harga empat ratus dirham. Kainnya masih lebih mahal dari empat ratus dirham tetapi saya akan membelinya dengan harga ini kata Abu Hanifah.
Saat ini dialog ini tampaknya tidak mungkin di dunia nyata. kamu dapat memasuki dunia drama dan bercerita. Saat ini sepertinya mustahil bagi pedagang untuk menawar harga barang yang melebihi harga yang diinginkan oleh penjual. Sekarang tidak mungkin menemukan pedagang yang meminta untuk menaikkan harga pembelian. Tapi ini tidak berlaku untuk cerita di atas tentang wanita dan Abu Hanifah. Kisah al-Maqdisi memberitahu kita bahwa itu benar-benar terjadi di sana.
Selain semangat murni dan kejujuran ada banyak penggalan kebijaksanaan yang bisa kita tarik dari sosok Abu Hanif. Sosok yang sempat bertemu hanya dengan tujuh sahabat Nabi adalah pendiri mazhab Hanafi. Ia dikenal tidak hanya sebagai ilmuwan tetapi juga sebagai pengusaha sukses.
Bagi umat Islam menarik untuk melihat semangat entrepreneurship atau wirausaha. Terutama ketika tingkat kebutuhan tenaga kerja menurun seiring dengan kecepatan jumlah sumber daya manusia yang tersedia. Tenaga kerja yang ada jauh melebihi kebutuhan. Jumlah kebutuhan rekrutmen pegawai negeri tidak dapat memuaskan lulusan sekolah menengah atau perguruan tinggi. Lembaga swasta tidak berbeda. Kebalikannya juga benar. Di tengah kebutuhan ekonomi yang membingungkan
Sudah waktunya bagi karyawan untuk berpikir.
Faktanya adalah bahwa tingkat kenaikan gaji karyawan baik pegawai negeri maupun swasta tidak dapat mengimbangi laju pertumbuhan kebutuhan sehari-hari. Belum lagi apakah kamu perlu mengubah nasib kamu dengan memiliki misalnya kendaraan atau rumah besar.
Saya bertanya-tanya berapa lama waktu yang dibutuhkan seorang karyawan untuk menerima 2 juta rupee sebulan untuk mendapatkan rumah senilai 1 juta rupee untuk menghemat berbulan-bulan atau lebih dari delapan tahun. Itu berarti sementara menghemat hingga $ 2 juta sebulan tanpa makanan di luar sekolah dan kebutuhan lainnya. Apakah dia ingin memiliki kendaraan roda empat dalam keadaan seperti itu? Jika saya mau
Muncul pertanyaan: bagaimana mungkin ada orang-orang yang resmi tetapi dapat memiliki semua kemewahan ini? Dalam analisisnya yang ia tulis dalam bukunya "Jangan Mau Seumur Hidup Jadi Orang Gajian" Valentino Dinsi mengatakan bahwa pegawai negeri atau mereka yang bekerja sebagai pekerja swasta tingkat rendah dan menengah hanya bisa kaya dalam lima cara. Ini berarti bahwa ketika kamu menikah dengan pria kaya yang mendapatkan pria kaya kamu mendapatkan banyak kesempatan kerja dan korupsi.
Tidak perlu disalahkan kita bisa membuktikan mana dari lima hal yang paling banyak dilakukan. Jika kamu memikirkannya orang-orang di negara ini perlu mengubah paradigma berpikir mereka. Paradigma untuk sebagian masyarakat kita adalah bahwa masih banyak orang yang bersikeras memasukkan anak-anak mereka ke dalam pegawai sipil dengan berbagai cara termasuk penyuapan dan nepotisme. Paradigma ini harus diganti dengan yang baru. Artinya generasi muda tumbuh dalam jiwa kewirausahaan.
Jadi begitu kita lulus dari sekolah menengah atau perguruan tinggi generasi kita tidak lagi belajar cara menulis lamaran tetapi bagaimana membuat proposal bisnis. Alih-alih melamar sebagai karyawan dengan berbondong-bondong mereka beramai-ramai membuat perusahaan baru.
Jika kita dapat menumbuhkan semangat kewirausahaan ini sejak usia dini kita berharap negara ini akan bangkit dari keterpurukan. Kita bisa mengelola kekayaan alam yang kaya ini sendiri tanpa mengundang orang asing. Kondisi adalah sesuatu yang ingin kita ubah.
Mungkin anda tertarik untuk membaca artikel kami yang lain tentang contoh desain masjid modern di Indonesia. Adapun website kami ini memuat referensi desain masjid yang bisa bermanfaat untuk umat.
Posting Komentar untuk "Muslim yang Berjiwa Wirausaha"